Sawahlunto, TargetOnlineNews.com – Menurut Undang-Undang yang berlaku di Indonesia, tanah ulayat lahan bekas tambang batubara yang tidak digunakan lagi dapat menjadi subjek pengembalian kepada masyarakat adat pemegang hak ulayat. Namun, proses pengembalian ini harus mengikuti ketentuan hukum yang berlaku dan mempertimbangkan berbagai aspek.
Menurut Epy Kusnadi,SH.M.Kn, Praktisi Hukum di Sawahlunto, ada beberapa ketentuan Hukum yang mengatur
– Undang-Undang Dasar 1945: Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 mengakui hak-hak masyarakat adat dan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak tradisionalnya.
– Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA): Pasal 3 UUPA menyebutkan bahwa hak-hak masyarakat hukum adat atas tanah dan sumber daya alam diakui dan dihormati sepanjang masih ada dan sesuai dengan kepentingan nasional dan negara.
– Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba):
Pasal 95 UU Minerba menyebutkan bahwa setelah kegiatan pertambangan berakhir, lahan bekas tambang harus dikembalikan kepada negara atau masyarakat adat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengembalian Tanah Ulayat
Pengembalian tanah ulayat lahan bekas tambang batubara kepada masyarakat adat pemegang hak ulayat harus dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Proses pengembalian ini harus mempertimbangkan kondisi lahan, kepentingan masyarakat adat, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
– Proses Pengembalian:
Proses pengembalian tanah ulayat lahan bekas tambang batubara harus dilakukan melalui prosedur yang jelas dan transparan, dengan melibatkan masyarakat adat dan pemerintah.
– Kondisi Lahan:
Sebelum pengembalian, lahan bekas tambang batubara harus dalam kondisi yang layak dan sesuai untuk dikelola oleh masyarakat adat.
Pengembalian tanah ulayat lahan bekas tambang batubara kepada masyarakat adat pemegang hak ulayat dapat menghadapi beberapa tantangan, seperti:
– Keterlibatan Pihak Lain:
Pengembalian tanah ulayat lahan bekas tambang batubara mungkin melibatkan pihak lain yang memiliki kepentingan, seperti investor atau perusahaan pertambangan.
– Kondisi Lingkungan:
Lahan bekas tambang batubara mungkin telah mengalami kerusakan lingkungan yang signifikan, sehingga memerlukan upaya reklamasi dan pemulihan.
Lalu bagaimana dengan status lahan bekas tambang batubara Bukit Asam 393,45 hektar, yang sudah diserahkan kepada Pemerintah Daerah Sawahlunto
Menurut Epy Kusnadi, pelepasan lahan pascatambang terbuka Tanah Hitam dan Kandi merujuk kepada kesepakatan antara Perseroan dengan Pemerintah Kota Sawahlunto yang tertuang dalam Perjanjian Nomor 06/08.04/2400000002/XI-2004 – Nomor 180/11/Huk-Org/2004 tanggal 5 Nopember 2004 tentang Penyerahan Lahan Pasca Tambang di daerah Kandi dan Tanah Hitam seluas 393,45 hektar kepada Pemerintah Kota Sawahlunto yang diperuntukan bagi resort wisata dan sarana olahraga, serta sarana dan prasarana lainnya.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 48 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang bahwa Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi yang telah selesai melaksanakan pascatambang wajib menyerahkan lahan pascatambang kepada pihak yang berhak sesuai dengan peraturan perundang-undangan melalui Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya
Solusi untuk mengatasi tantangan ini adalah dengan melakukan dialog dan kerja sama antara pemerintah, masyarakat adat, dan pihak lain yang terkait. Dengan kerja sama dan dialog yang konstruktif, tanah ulayat lahan bekas tambang batubara dapat dikelola secara berkelanjutan dan memberikan manfaat bagi semua pihak [ris1].