SAWAHLUNTO, TargetOnlineNews.com – Songket Silungkang selama ini kerap tampil memukau dalam panggung-panggung festival budaya dan karnaval kota. Setiap helai benangnya seolah bercerita tentang kemegahan Minangkabau, dan setiap motifnya menyiratkan nilai-nilai luhur yang telah diwariskan lintas generasi. Namun sayangnya, di balik sorotan lampu dan deretan kamera, ada realita yang tak banyak dibicarakan: songket Silungkang sedang berada di ambang krisis kelestarian.
Penting untuk dipahami bersama, songket bukan hanya kostum perayaan atau dekorasi event tahunan. Ia adalah bagian dari identitas budaya yang hidup, yang seharusnya terus dijaga, dikembangkan, dan diberi ruang tumbuh secara berkelanjutan.
*Di Balik Gemerlap Event, Ada Tradisi yang Mulai Lelah*
Tak bisa dipungkiri, festival dan karnaval budaya telah memberi panggung untuk songket Silungkang tampil di depan publik. Tapi apa cukup hanya dengan itu? Setelah acara selesai dan panggung dibongkar, apa kabar para pengrajin yang selama berbulan-bulan menenun dengan penuh ketekunan?
Kita harus jujur mengakui: tradisi ini mulai kehilangan generasi penerus. Anak-anak muda Silungkang tidak lagi melihat menenun sebagai pilihan masa depan yang menjanjikan. Banyak pengrajin lanjut usia yang tak punya siapa pun untuk mewariskan ilmunya. Di saat yang sama, kemajuan teknologi belum sepenuhnya menjangkau mereka untuk memasarkan produk secara luas.
“Songket bukan hidup dari festival, tapi dari keseharian yang diberi nilai dan penghargaan,” ujar seorang pengrajin senior di Silungkang yang mengaku makin kesulitan mempertahankan usaha tenunnya karena kurangnya dukungan.
*Menjaga Bukan Berarti Mengawetkan, Tapi Menghidupkan*
Menjaga budaya bukan berarti membiarkannya diam dalam bingkai atau sebatas warisan museum. Songket Silungkang harus dijadikan bagian dari kehidupan masa kini. Itu artinya, motif-motif tradisional bisa diadaptasi ke dalam busana modern, dekorasi interior, hingga produk kreatif lainnya—tentu tanpa menghilangkan makna dan filosofinya.
Pemerintah daerah, pelaku industri kreatif, dan masyarakat perlu duduk bersama untuk menjawab satu pertanyaan penting: Bagaimana agar Songket Silungkang tetap hidup dan punya nilai ekonomi, tanpa kehilangan jiwanya?
*Beberapa langkah yang mendesak untuk dilakukan antara lain:*
– Pelatihan regenerasi pengrajin muda, mulai dari tingkat sekolah hingga komunitas.
– Kolaborasi aktif dengan desainer lokal dan nasional untuk mengangkat songket dalam mode kontemporer.
– Promosi lewat media digital dan e-commerce, agar pasar tidak terbatas pada acara seremoni lokal.
– Penguatan kebijakan dan insentif daerah bagi pelaku UMKM tenun yang mempertahankan keaslian.
*Budaya Adalah Napas, Bukan Panggung*
Songket Silungkang terlalu agung untuk hanya muncul di panggung-panggung musiman. Ia harus dijadikan bagian dari narasi besar pembangunan budaya—yang tidak hanya fokus pada kemasan luar, tapi juga mendasar pada nilai, pelaku, dan keberlanjutan.
Festival boleh tetap ada, karnaval tetap meriah, tapi itu semua harus jadi alat edukasi dan promosi, bukan satu-satunya bentuk eksistensi songket. Karena budaya bukan sekadar untuk dirayakan, tapi untuk dihidupkan, diwariskan, dan dikembangkan bersama.
Dan seperti kata pepatah Minang, “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”—tradisi bukan ornamen, tapi pegangan hidup. (Ris1)
—
#SongketSilungkang #BudayaHidup #JagaWarisanKita #TenunIdentitas #BukanHanyaSeremoni
Komentar