oleh

Ditengah Efisiensi, APBD Cerdas Vs APBD Tanpa Arah

“Ditengah Efisiensi, APBD Cerdas Vs APBD Tanpa Arah”

Oleh, Alwin Al Lahad, ST.
Dalam setiap perbincangan tentang pembangunan, ada satu instrumen yang sering terlupakan oleh masyarakat awam, namun justru paling menentukan arah nasib sebuah daerah yaitu Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Ia bukan sekadar angka di atas kertas, melainkan denyut nadi ekonomi lokal yang bisa menggerakkan kesejahteraan rakyat atau sebaliknya, menjerat daerah dalam lingkaran pemborosan dan stagnasi.
Hari ini, kita berada di era efisiensi.

Pemerintah pusat sudah berkali-kali menekankan bahwa belanja negara maupun daerah harus tepat sasaran. Tidak ada lagi ruang untuk anggaran yang “asal ada”, atau proyek yang lahir bukan dari kebutuhan rakyat, melainkan dari selera penguasa.

APBD yang cerdas berarti setiap rupiah diarahkan ke program yang jelas manfaatnya bagi rakyat, sesuai dengan potensi daerah.

Daerah agraris, misalnya, mestinya menjadikan belanja sektor pertanian sebagai motor utama. program berbasis pertanian diprioritaskan, Daerah pesisir, semestinya menjadikan laut dan perikanan sebagai basis kemakmuran.

Ketika APBD terarah, belanja publik akan menciptakan efek berantai (multiplayer effect) seperti dari pembangunan jalan desa, tumbuh perdagangan lokal; dari pelatihan UMKM, lahir lapangan kerja baru; dari fasilitas kesehatan yang baik, meningkat lah produktivitas masyarakat.

Data Kementerian Keuangan menunjukkan, belanja pemerintah daerah menyumbang hampir 20% perputaran ekonomi nasional. Artinya, setiap rupiah yang dibelanjakan pemerintah daerah bukan sekadar angka, tetapi penggerak ekonomi rakyat. Inilah logika sederhananya “semakin cerdas arah belanja, semakin besar manfaat bagi masyarakat”.

Namun, bayangkan bila APBD tanpa arah. Di tengah keterbatasan fiskal, justru belanja habis untuk perjalanan dinas, rapat seremonial, atau proyek-proyek yang tidak pernah dirasakan rakyat.

Akibatnya fatal, ruang fiskal untuk sektor produktif menyempit, kepercayaan publik menurun, dan yang lebih berbahaya—perekonomian daerah justru stagnan meski belanja meningkat.

Banyak daerah mengalami ini, anggaran naik tiap tahun, tetapi kemiskinan tak berkurang signifikan, pengangguran tetap tinggi, dan PAD jalan di tempat.

Bahaya APBD tanpa arah bukan hanya soal pemborosan, tetapi soal masa depan. Tanpa visi pembangunan yang jelas, daerah kehilangan kompas.

Alih-alih menjadi instrumen kesejahteraan, APBD berubah menjadi alat konsumsi birokrasi. Padahal, belanja pemerintah adalah instrumen fiskal paling nyata yang bisa dirasakan rakyat, apalagi di daerah yang sangat bergantung pada transfer pusat.

Maka, sudah saatnya kita menuntut APBD yang cerdas, efisien, dan berpihak pada rakyat. Efisiensi bukan berarti pelit, melainkan memastikan setiap rupiah bekerja lebih keras, memberi manfaat yang lebih luas.

APBD harus dirancang bukan hanya untuk habis dibelanjakan, tetapi untuk menumbuhkan.

Logika akal sehatnya sederhana, ketika uang belanja rumah tangga dipakai membeli kebutuhan pokok, maka keluarga akan sehat dan produktif.

Tetapi bila uang yang sedikit itu habis untuk hal-hal yang tidak prioritas, maka rumah tangga itu akan kesulitan.

Begitu pula dengan APBD—ia adalah “uang rumah tangga” rakyat yang harus diurus dengan hati-hati dan penuh kasih sayang.
APBD yang cerdas akan menumbuhkan kepercayaan, menguatkan ekonomi, dan membawa rakyat pada kemakmuran.

APBD tanpa arah hanya akan menjadi cerita tentang peluang yang hilang. Dan di era efisiensi hari ini, peluang yang hilang sama artinya dengan kesejahteraan yang tertunda.(*)

*Penulis adalah Pemerhati sosial.

banner 336x280

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *